Terkenang
Ketika dunia kian menumbuhkan kebengisan,
meninggalkan kesejukan, membekaskan cakarannya, kenangan itu tidak pernah
terhapuskan sedikitpun. Guru, bukan
hanya mereka yang menyandang gelar sarjana atau title yang berderet panjang.
Namun seorang Guru sejati ialah
mereka yang mengabdikan diri menjadi contoh dan memberi contoh disaat banyak
yang mencontoh tapi sedikit yang menjadi contoh. Memberikan pengetahuan,
bimbingan, pengalaman, nasehat terhadap sesama maupun anak didiknya. Dengan
rasa ikhlas dan sabar tanpa mengharapkan imbalan apapun.
Pagi hari yang seharusnya cerah, terampas oleh hujan
deras. Tumpukan sampah yang menggunung terguyur oleh air menghidupkan aroma
busuk ditambah aroma khas tanah basah
yang menyengat hidung. Dari kejauhan terlihatnya seorang wanita dengan jilbab
yang menjuntai bersembunyi dibalik payung dengan tangan yang menjinjing tas
berisi buku miliknya. Berjalan tegap dengan senyum merekah yang menumbuhkan
rasa hangat di ujung jalan. Ialah Aminah, wanita yang kesehariannya menjadi Guru di Sekolah terbuka jenjang SMA
untuk siswa yang tidak bisa melanjutkan sekolah akibat biaya. Aminah tinggal di
gubuk sederhana, dimana bagian atapnya terdapat lubang-lubang kecil yang dapat
ditembus oleh air maupun cahaya matahari. Pengabdiannya sebagai Guru tidak terbatas waktu dan materi.
Bahkan dikala seorang Guru
mendapatkan tunjangan gaji, tidak dengan beliau. Bagi beliau mengajar adalah
sebuah keharusan. Apalagi di usianya yang kian renta itulah alasan mengapa
Beliau ingin memberikan pengalaman bahkan pengetahuannya. Ilmu yang bermanfaat
adalah Ilmu yang diterapkan dan dibagikan kepada orang lain.
“Pim, Pim.”
Sebuah sepeda motor mendekat mematikan mesinnya, dan berhenti tepat
disebelahnya. Salah seorang anak perempuan menegur dan menawarkan diri untuk mengantar
Aminah menuju sekolahannya. Kebetulan searah dan berdekatan dengan tempat
Widiya sekolah. Aminah mengalihkan
pandangannya menuju wajah Widiya yang saat itu terguyur air hujan dan
mengiyakan ajakan Widiya. Roda motor pun melaju. Disela itu, tawa kecil
menyelimuti percakapan sepanjang jalan, hingga tidak terasa sudah hampir sampai
di gerbang sekolah.
Merekapun berpisah. Ibu Aminah memasuki lorong
sekolah yang hanya mungkin terdiri dari 3 kelas. Pukul menunjuk pada angka 08.00.
Anak-anak telah menunggu dan duduk di ruangan dengan atap yang bocor dibawahnya
sebuah baskom berisi air yang hendak penuh. Sekolahan itu bukan seperti sekolah
pada umumnya. Pada awalnya itu hanyalah gedung kosong yang kemudian disulaplah
menjadi tempat anak-anak belajar. Bahkan pengajarnya pun hanya dua orang yaitu
Aminah dan Seorang Mahasiswi yang bernama Sekar. Mereka selalu bergantian dalam
mengajar. Bahkan Sekar juga tidak mendapatkan upah gaji, niat ikhlas darinya
karena belajar dari pengalaman Aminah.
Pelajaran pun dimulai. Aminah tidak hanya
mengajarkan tentang ilmu pasti seperti : Matematika, Sosial, ataupun Bahasa.
Namun beliau selalu melibatkan alam dan kehidupan dengan nasehat dalam
pengajaran kepada anak didiknya.
“Alam kita telah rusak nak, maka kalian yang muda
lah yang harusnya memperbaikinya. Lihatlah atap kelas kita, berlubang. Itu
terlihat kecil namun jika dibiarkan begitu saja maka lubang itu akan menjadi
besar. Begitulah dengan kondisi alam kita saat ini. Termasuk diri sendiri” Ujar
Ibu Aminah.
“Lantas bagaimana kah yang sepatutnya kita lakukan
Bu? Kita masih anak-anak muda yang masih abstrak dengan hal-hal seperti itu.”
Tanya seorang anak.
“Begini nak, maka dari itu kita harus memiliki adab,
setelah beradab barulah berilmu. Andaikan semua orang seperti itu maka alam
tidak akan rusak. Dan ketika kita beradab tentulah kita menjadi manusia yang
sedikit bijak dalam bersikap. Selalu dekat dengan Tuhan. ” Terang Ibu Aminah.
“Mengapa harus beradab? Adab itu apa ?”
“Adab itu semacam tata krama, adab memudahkan kita
dalam memahami ilmu ketika berlajar ilmu kita akan menjumpai berbagai macam
statement dari berbagai sudut pandang. Selain itu dengan beradab kita diberikan
cara-cara yang sesuai dalam memanfaatkan sesuatu. Dengan beradab juga kita
menjadi toleransi, adem ayem.”
“Oh begitu bu, baiklah bu.”
“Belajarlah dari alam nak, alam itu lebih jujur
dibandingkan dengan manusia. Bahkan alam adalah guru.”
“Mengapa begitu bu ?”.
“Karena disaat manusia memiliki 4 elemen yaitu
Iblis, setan, Malaikat, bahkan binatang. Alam itu adalah sumbernya kehidupan
dan alam mengajarkan banyak hal dari itu, ada saatnya kamu akan tau jika kamu
mau belajar.”
“Bu memang hebat, tiap kali aku
bertanya pasti tahu jawabannya.”
Seperti itulah rutinitas Ibu Aminah. Dari subuh menumbuhkan
pagi, hingga senja yang sementara membubuhkan warnanya di gugusan kemelut mega
jingga. Belajar dan mengajar, bahkan ketika seusai menunaikan ibadah nya,
beliau mengajari anak-anak yang hendak mengaji bersamanya. Tanpa kenal lelah,
dan selalu bersahaja.
Namun, malam itu terlihatnya wajah pucat pasi,
beliau hanya bisa berbaring di ranjangnya.
(Tok-Tok) “Assalamualaikum.” Terdengar riuhan anak
memanggil Aminah.
“Waalaikum salam, masuklah nak.” Jawab Aminah dengan
suara rendahnya.
“Ibu kenapa? Apa ibu sakit? Mari kita ke Puskesmas
bu.” Ujar Udin salah satu anak didiknya.
“Tidak usah din, ibu hanya kurang enak badan. Mari
lanjutkan jika mau mengaji.”
“Atau libur saja bu ngajinya?.” Tanya Udin.
“Jangan, ibu tidak apa-apa. Sekarang buka Al Qur’an
kalian. Ulangi ayat yang kemarin. Ibu akan memperbaiki jika ada tanda bacaan
yang salah.”
“Baik bu.”
Mereka pun riuh ramai dengan lantunan ayat Al Quran.
Kemudian salah satu anak bertanya kepada Aminah.
“Bu, bagaimana supaya bisa bermanfaat untuk orang
lain?”.
“Supaya bermanfaat, perbaiki diri sendiri terus,
bersamaan dengan itu mulailah melakukan kebaikan meski diri belum baik.” Jawab
Ibu Aminah.
“Kenapa harus dari diri sendiri?”. Sambung anak
lain.
“Jangan hanya menjadi lampu yang menerangi tempat
lain tapi lupa bahwa dirinya gelap.” Ujar Ibu Aminah.
Anak itupun termenung mendengar ucapan Ibu
Aminah. Ibu Aminah selalu memberikan
pengajaran yang sangat berbeda dengan kebanyakan guru lain. Bahkan saat beliau
sakitpun, beliau masih mau untuk mengajar. Hingga suatu hari, nama Aminah
terukir dalam nisan. Banyak orang berkabung, atas berpulangnya beliau ke sisi
Nya. Banyak orang kehilangan sosok yang sangat memberikan banyak pengajaran,
dan pembelajaran dalam menyikapi kontroversi kehidupan yang tidak stabil.
Saking berpengaruhnya beliau dalam lingkungannya, beliau selalu dikenang baik
oleh masyarakat sekitar. Dan menumbuhkan opini bahwasanya seorang guru sejati
ialah bukan hanya dari manusia namun juga alam. Manusia sebagai perantara
memberikan pengajaran dan pembelajaran tanpa memandang materi. Itulah mengapa
guru itu penting.
Vivie Wn ; Jakarta,
27 November 2018
Dikutip dari :
Realitas Kehidupan
Comments
Post a Comment