![]() |
| Picture by : https://ppsd.or.id/syair-syair-imam-syafii-tentang-ilmu/ |
“Dan, penyair itu di ikuti oleh orang-orang yang sesat” (QS Asy-Syura : 224)
Secara
kasat mata, ayat di atas telah menerangkan bahwa penyair itu di ikuti
oleh orang-orang yang sesat. Melalui dasar itu, bagi anda yang
barangkali gemar dan senang dengan syair agaknya menjadi suatu hal yang
dilematis, dan mungkin terngiang satu pertanyaan sederhana di benak
anda, apakah berarti syair itu dilarang?
Sebenarnya
tidaklah demikian, bila kita memahaminya secara mendalam atau
setidaknya kita telaah dari sudut pandang serta sisi lain, sebagaimana
pernyataan yang dikemukakan Ibnu Abbas bahwa para penyair yang
dimaksudkan dalam ayat di atas adalah orang-orang kafir. Seperti yang
kita ketahui bersama bahwa orang-orang kafir senantiasa berada di kubu
setan, itulah sebabnya syair yang mereka dzikir-dzikirkan acapkali
tergelincir pada kesalahan dan kesesatan.
Kendati
demikian, sesungguhnya tidak semua syair yang lahir dari kalangan non
muslim atau orang-orang kafir itu dilarang, selama syair itu sarat akan
kebaikan dan hikmah, sebagaimana yang termaktub dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Amru bin Asy-Syarid, dia berkata,
“Suatu hari saya membonceng Rasulullah saw dan beliau bersabda, ‘Apakah
kamu hafal sesuatu syair milik Umayyah bin Abi Ash Shalt?’ Saya
menjawab, ‘Ya’. Rasulullah saw bersabda, ‘Perdengarkanlah’. “Maka saya
memperdengarkan satu bait yang di maksud Rasulullah saw dan beliau
kembali bersabda, ‘Perdengarkanlah’. Saya memperdengarkan satu bait
lagi. Rasulullah saw bersabda, ‘Perdengarkanlah’. Saya lalu
memperdengarkannya hingga 100 bait.”
Sesungguhnya
Umayyah bin Abi Ash-Shalt berasal dari kalangan non muslim. Namun
agaknya Baginda Nabi sudi mendengarkan syair-syairnya karena syair
Umayyah sarat akan nilai kebaikan. Hingga Imam al Qurthubi menyimpulkan
bolehnya mendengar atau bersyair selama syair tersebut mengandung
nilai-nilai kebaikan dan hikmah yang mulia, baik secara syariat maupun
secara tabiat manusia.
Kendati
demikian, menurut al-Qurthubi, syair terbaik tetaplah syair yang di
dalamnya berisi sanjungan dan pujian terhadap Allah dan RasulNya.
Sebagaimana salah satu syair yang pernah dilantunkan oleh seorang nenek,
“Suatu malam, Umar keluar dari rumahnya dan berjalan, lalu melihat
sinar lampu dari sebuah rumah. Umar mendekat dan mendapati sosok nenek
tua sedang memintal bulu seraya melantunkan satu syair,
Atas Muhammad shalat (doa) kebaikan
Bershalawat kepadanya pula berita-berita kebaikan
Engkau bangun menjelang subuh dan menangis
Wahai hanya syairku, dan angan-angan yang terbang
Apakah rumah surga akan mempertemukanku dengan kekasihku?
Al
Qurthubi berpendapat, maksud dari kata kekasihku yakni Muhammad saw.
Melalui syair dan disenandungkannya itu, Umar di buat tertunduk dan
menangis.
Selain daripada Baginda
Nabi, salah satu sahabatnya yakni Abu Bakar ra sendiri pun sesungguhnya
begitu mencintai syair hingga ia membuatnya untuk mengagungi sang
terkasih Muhammad saw, berikut syairnya,
Kami kehilangan wahyu begitu engkau berlalu dari kami,
Pergi membawa kata-kata dari Allah swt
Kecuali yang engkau tinggalkan sebagai jaminan
Yang di warisi oleh kertas demi kertas yang mulia
Telah engkau warisi kami dengan warisan kebenaran
Atasmu dengan itu, pujian dan salam
Tatkala
Nabi mendengar syair itu, beliaupun sama sekali tidak mengingkarinya.
Dalam hal ini sebenarnya tradisi-tradisi syair pada masa Nabi Muhammad
saw sudah berkembang pesat. Mereka berduyun-duyun menyampaikan syair
yang memuji keagungan Allah swt dan rasulNya.
“Tidak
seorang ulama dan pemimpin melarang bersyair yang mengandung kata-kata
yang baik. Banyak dari sahabat dan ulama yang dahulu dan kini yang
menulis syair dan mendengar isi syair yang berisi tamsil dan
parabel-parabel yang penuh dengan kata-kata bijak dan yang di
perbolehkan. Selama isinya tidak kotor dam jorok, dan tidak dengan
kata-kata yang tidak baik, maka di bolehkan. Jika sebaliknya maka itu
yang dilarang.” Demikian seuntai wejangan yang pernah di terangkan oleh
Abu Bakar ra ihwal bersyair.
Pada
intinya, syair yang memuat nilai-nilai kebaikan dan sarat hikmah,
seperti pengagungan terhadap Allah swt dan rasulNya di perbolehkan dan
bahkan di anjurkan. Sebaliknya, syair yang dilarang sesungguhnya syair
yang termuat di dalamnya kalimat puji-pujian terhadap wanita karena
kecantikan maupun keindahan parasnya. Sebagaimana yang pernah terjadi
pada masa hayat Umar bin Abdul Aziz, beliau pernah mengusir Umar bin Abi
Rabi’ah karena syairnya tentang wanita. Demikian juga Al Ahwash yang
juga pernah di asingkan oleh Umar bin Abdul Aziz karena syairnya yang
serupa. Al Qurthubi berkata, “Ini adalah hukum yang berlaku atas
syair-syair tercela terhadap pelakunya. Tidak boleh mendengarnya atau
membacanya di masjid dan di tempat lainnya. Itu sama dengan menyebarkan
perkataan-perkataan kotor.”
Rasulullah
saw dengan sabda beliau, “Kalimat yang paling benar diucapkan seorang
penyair adalah kalimat Labid, yaitu segala sesuatu selain Allah pasti
disentuh kebatilan” (HR. Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah dari Abu
Hurairah). Dan dalam riwayat lain, Nabi juga berkata, “Syair yang baik
itu seperti perkataan yang baik, dan syair yang kotor itu seperti
perkataan yang kotor.”(HR Muslim dari Abdullah Asy Syami)
Dengan
demikian mendengarkan, membaca atau menulis syair itu boleh-boleh saja,
selama syair itu sarat akan kebaikan dan hikmah yang bisa kita serap
darinya sebagaimana syair yang mendzikir-dzikirkan asma Agung Allah swt,
syair yang memuat puji-pujian dan sanjungan terhadap Baginda Nabi,
syair yang mengajarkan nilai moral seperti menolong sesama, berbakti
pada orang tua dan sebagainya. Jadi bagi anda yang senang dengan syair
tak perlu cemas ataupun dilema lagi.
Di sadur dari Majalah Hidayah Edisi 136 Bab Tafsir

👍👍👍👍
ReplyDelete